Pemuda AS yang Temukan Kebenaran di Tengah Diskriminasi

Pemuda AS yang Temukan Kebenaran di Tengah Diskriminasi

Michael Cumming, seorang pemuda dari Amerika Serikat, dibesarkan dalam lingkungan Kristen yang kuat di pedesaan Kentucky. Ia menjalani kehidupan yang normal sesuai ajaran gereja hingga suatu saat pertanyaan mulai muncul di benaknya. Pertanyaan itu berkutat seputar ajaran dan isi Alkitab yang selama ini menjadi panduan hidupnya. Meskipun memiliki saudara yang bekerja di militer dan seorang lagi yang sedang belajar untuk menjadi pengkhotbah Kristen, Michael merasa semakin jauh dari jalan yang ditetapkan oleh keluarganya.

Kebingungan Michael semakin memuncak setelah ia mendapati bahwa jawaban-jawaban yang ia dapatkan dari para pengkhotbah tidak memuaskan hatinya. Mulailah ia mencari kebenaran dari berbagai agama lain. Dari ajaran Mormon hingga Rastafarian, semua dicobanya. Namun, satu agama yang menarik perhatiannya lebih dari yang lain adalah Islam.

Perjalanan spiritualnya menemukan momentum di tengah masa kampanye pemilihan presiden AS. Salah satu calon, Donald Trump, menggaungkan retorika yang kerap dianggap diskriminatif terhadap Muslim. Michael yang kala itu hanya mendapatkan informasi tentang Islam melalui media televisi dan film, merasa terdorong untuk lebih mengenal agama ini. “Karena pengetahuan saya soal Islam hanya saya dapat melalui televisi dan film,” tuturnya, seperti dikutip dari laman World Bulletin.

Langkah pertamanya adalah membeli terjemahan Alquran. Ia membaca kitab itu selembar demi selembar, sambil sering bertanya kepada teman-teman Muslimnya tentang hal-hal yang kurang ia pahami. Semua yang ia pelajari tentang Islam terasa masuk akal baginya. “Dan semua yang saya pelajari tentang Islam masuk akal bagi saya,” katanya dengan mantap.

Setelah yakin dengan keputusannya, Michael yang kini dikenal sebagai Ubaidah, memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk menjadi seorang Muslim. Reaksi ibunya cukup mengecewakan baginya. Sang ibu bahkan memanggil saudara Ubaidah yang seorang pengkhotbah untuk memberikan nasihat. Namun, tekad Ubaidah sudah bulat. Meski harus kehilangan beberapa anggota keluarganya, ia merasa tidak perlu risau. “Karena saya mendapatkan sekitar 1,7 miliar saudara baru,” ungkapnya dengan penuh ketenangan.

Kini, Ubaidah tidak hanya menjalani ajaran Islam, tapi juga mengajak teman-temannya untuk berdakwah. Dia berharap Allah terus membimbingnya dan mungkin suatu hari nanti, keluarganya juga akan mengikuti jejaknya. “Saya berdoa agar Allah terus membimbing saya dan teman-teman saya, bahkan mungkin keluarga saya suatu hari nanti,” katanya dengan penuh harap.

Ditulis kembali dari cerita di: https://khazanah.republika.co.id/berita/onm5ww377/kisah-pemuda-as-yang-menjadi-mualaf-setelah-diskriminasi-trump-ke-muslim

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *