Perkenalkan, saya adalah seorang anak rumahan yang tinggal di sebuah perkampungan padat. Kehidupan sehari-hari saya biasa saja dan tidak terlalu dekat dengan agama saat ini. Berbeda dengan kedua orang tua saya yang rutin mengaji setiap malam Jumat dan menjaga sholat mereka. Kisah inspiratif ini saya dapatkan dari ibu saya, yang memiliki teman pengajian bernama Umi, yang dulunya adalah guru ngaji saya di TPA. Namun, seiring waktu, karena lingkungan dan perubahan sikap, saya menjadi jarang mengaji dan lebih sibuk dengan urusan duniawi.
Beberapa tahun kemudian, ibu saya dan Umi menjadi sangat dekat, seperti sahabat. Saya, yang suka membaca buku, teringat sebuah kalimat yang mengatakan:
“Bertemanlah dengan orang yang baik agamanya, niscaya kamu akan dibimbingnya menuju surga.”
Umi sering mengajak ibu saya untuk mengaji (pengajian ibu-ibu) dan membawa keluarga kami ke arah yang lebih baik. Umi dan suaminya, Abi, serta anak-anaknya, sangat menjaga agama mereka, bahkan hampir tidak pernah absen sholat lima waktu. Rumah kami dekat dengan masjid, dan setiap kali Umi atau Abi lewat, mereka selalu mengajak sholat di masjid. Anak-anak mereka rajin menabung, pandai mengaji, dan bersekolah di pesantren. Bahkan salah satu anaknya sudah kuliah di Institut Ilmu Quran untuk mempelajari Al-Quran.
Saya baru benar-benar memahami maksud dari kata-kata seorang guru agama saya dulu yang berkata, “Jangan kejar dunia, akhirat tidak akan mengikuti mu. Namun kejarlah akhirat, niscaya dunia akan mengikutimu.” Keluarga Umi tidak ada yang bekerja sebagai PNS atau pegawai swasta. Mereka hanya seorang guru ngaji yang lama-kelamaan menjadi guru privat belajar baca Al-Quran, dengan murid-murid yang sudah tua dan kaya raya. Mereka tidak pernah menuntut bayaran yang mahal, tetapi salah satu anak mereka bisa kuliah berkat bantuan dari murid les privat mereka. Awalnya mereka tinggal di rumah kontrakan, tetapi setelah menabung, mereka bisa membeli rumah sendiri. Subhanallah.
Kisah ini hanyalah pengantar dari apa yang ingin saya ceritakan. Karena hubungan keluarga kami dengan keluarga Umi semakin dekat, kami sering berkunjung ke kampung halaman masing-masing. Suatu hari, Umi jatuh sakit karena tifus dan dirawat di rumah sakit. Keluarga kami merasa sangat sedih karena biasanya Umi mampir ke rumah setelah mengajar ngaji. Abi juga tidak lagi lewat depan rumah untuk mengajak sholat karena sibuk menjaga dan beribadah di dekat istrinya yang sedang dirawat. Kesedihan ini sangat mempengaruhi ibu saya, yang sangat dekat dengan Umi.
Saya merasa menyesal karena tidak bisa mengobrol untuk terakhir kalinya dengan Umi. Beliau sempat meminta untuk bertemu dengan saya sebelum beliau meninggal. Saya pun memenuhi permintaan itu, tetapi saat tiba di sana, beliau sudah tertidur pulas. Tidak lama kemudian, ibu saya terpukul karena mendengar kabar bahwa Umi meninggal dunia karena tifus.
Seiring waktu, kami masih merasakan kekosongan karena tidak ada lagi yang mampir ke rumah untuk bercanda dan ngobrol bersama ibu saya. Anak Umi yang sedang kuliah di IIQ sekarang menggantikan posisi beliau dalam memimpin pengajian ibu-ibu. Saya teringat sebuah hadist:
“Yang kalian puji kebaikannya, maka wajib baginya surga. Dan yang kalian sebutkan kejelekannya, wajib baginya neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari, no. 1367; Muslim, no. 949)
Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan kebaikan-kebaikan Umi. Pada akhir hayatnya, ketika sedang ada pengajian, seorang teman pengajian berkata, “Jenazahnya cantik ya, seperti Ibu Haji.” Ibu saya hanya tersenyum mendengar ini. Ternyata, Umi sedang menabung untuk berangkat haji, dan seharusnya berangkat dalam beberapa tahun lagi. Beliau hanya bercerita kepada ibu saya, sehingga orang lain tidak tahu bahwa beliau akan berangkat haji. Sepertinya, ruhnya sudah diberangkatkan haji oleh para malaikat.
Selain itu, dengan pendapatan yang tidak tetap, Umi sering mengajak ibu saya untuk mengunjungi perkampungan yang berisi anak-anak yatim dan kaum dhuafa untuk memberikan bantuan. Yang lebih mengejutkan, beliau sudah melakukan ini sejak lama, dan memberikan nominal yang cukup besar di luar bulan Ramadhan. Saya bertanya kepada ibu saya tentang alasannya, dan dia menjawab, “Ketika bulan Ramadhan, yang ngasih kan banyak, tapi kalau hari-hari biasa hampir tidak ada yang ngasih.” Alasan ini menurut saya sangat masuk akal.
Umi adalah sosok yang selalu menginspirasi saya. Beliau tidak pernah show off di depan umum dan hanya dikenal kebaikannya oleh orang-orang terdekat. Bagi saya, beliau adalah orang yang melakukan kebaikan tanpa perlu banyak orang tahu dan tulus tanpa ingin dipuji. Semua ini saya ketahui dari cerita ibu saya. Hikmah yang bisa saya ambil adalah:
“Marilah saling membantu orang-orang yang kurang mampu agar hidup mereka lebih mudah, dan jangan pernah takut kekurangan uang atau harta jika itu digunakan untuk beramal. Karena Tuhan pasti sudah mengatur rezeki untuk setiap hamba-Nya.”
Setelah mendengar semua itu, perubahan besar terjadi pada keluarga kami, terutama ibu saya. Perubahan ini mengarah ke hal yang sangat positif, atau yang disebut dengan hijrah. Saya pun ikut berhijrah dengan berusaha menjadi lebih baik dalam segala hal, terutama dalam persoalan ibadah dan berpuasa setelah melihat dan mengetahui apa yang telah terjadi. Saya berharap bisa menjadi seperti Umi, yang dirindukan karena kebaikan dan keramahan sikapnya.
Kurang lebihnya, saya mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah atau kurang berkenan. Semoga cerita ini dapat menginspirasi teman-teman semua yang memiliki rezeki berlebih untuk membantu orang yang membutuhkan. Karena Tuhan pasti akan membalas segala kebaikan yang telah kita perbuat.
Ditulis kembali dari cerita di: https://www.kaskus.co.id/thread/5ce696b568cc955e6b65223c/kisah-seorang-guru-tpa-yang-menjadi-alasan-ber-hijrah