Di Titik Terendah: Menemukan Cahaya dalam Hijrahku.

Di Titik Terendah: Menemukan Cahaya dalam Hijrahku.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bagaimana kabar semuanya? Semoga dalam keadaan sehat dan baik-baik saja! Bagaimana puasamu? Semoga lancar tanpa ada yang terlewat, Alhamdulillah jika hari ini kita masih diberi kesehatan dan kekuatan untuk menjalankan ibadah puasa.

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman berharga yang membuat saya memulai hijrah dan berusaha memperbaiki diri. Meski jauh dari sempurna, saya bersyukur masih bisa berusaha menjadi lebih baik.

Dulu saya adalah orang yang sangat bandel, mungkin bisa dibilang paling bandel di keluarga saya. Bahkan, saya jarang berpuasa atau melaksanakan ibadah lainnya. Hidup saya dipenuhi dengan kebebasan dan maksiat, hanya berfoya-foya dan nongkrong dengan teman-teman. Saat itu, tidak terlintas sedikit pun di pikiran saya tentang akhirat atau pertanggungjawaban atas perbuatan saya.

Semua berubah saat saya mencapai titik terendah dalam hidup saya, ketika saya kehilangan sosok ayah. Saya masih jelas ingat wajah terakhirnya dan kata-kata terakhirnya, “Kembalilah ke jalan Allah, nak, sebelum terlambat.” Suasana hening menyelimuti ruangan saat ayah pergi untuk selamanya. Tangis menggema di rumah kami pada tanggal 07 Februari 2017 pukul 20:45, saat terakhir kali saya melihatnya.

Tiga hari setelah kepergiannya, saya hanya bisa mengurung diri di kamar, merenungi pesan terakhirnya. Air mata mengalir saat saya memikirkan kata-kata terakhirnya, penuh penyesalan, kecewa, dan benci pada diri sendiri yang telah menyia-nyiakan waktu berharga. Seminggu berlalu, tetapi penyesalan masih menghantui. Perlahan-lahan, hati saya mulai tergugah untuk memperbaiki diri meski masih penuh rasa malu, takut, dan ragu.

Tiga bulan berlalu, saya mulai melaksanakan shalat tepat waktu meski masih enggan shalat berjamaah di masjid. Hingga tiba bulan Ramadan, rasa takut dan ragu mulai menghantuiku lagi. Walaupun hati saya ingin berhijrah sepenuhnya, ketakutan dan was-was selalu menggoyahkan keyakinan saya. Saya khawatir tidak mampu menahan godaan di bulan Ramadan yang penuh berkah ini.

Namun, pada awal Ramadan, saya memutuskan untuk mengatasi rasa malu dan ketakutan itu. Saya pergi ke masjid untuk shalat Isya berjamaah dan tarawih pertama. Meskipun hati masih penuh dengan perasaan malu, saya bertekad untuk melawan semua itu. Saat memasuki masjid, mata semua orang tertuju pada saya, tapi saya tetap berusaha untuk khusyuk dalam shalat. Hari pertama saya shalat berjamaah di masjid, hati saya merasa lega meski ada rasa berat karena malu, namun Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.

Demikianlah pengalaman pertama saya dalam hijrah di tahun pertama. Insya Allah, lain waktu saya akan berbagi pengalaman lanjutan dalam bagian kedua. Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi inspirasi bagi teman-teman semua untuk tidak pernah takut atau malu untuk berhijrah ke jalan yang lebih baik. Meskipun awalnya mungkin terasa berat seperti yang saya alami, percayalah bahwa Allah selalu memberikan jalan dan kemudahan bagi hamba-Nya yang berusaha berhijrah.

Sampai jumpa di bagian kedua, semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya.

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Cerita ini ditulis kembali dari: https://www.kaskus.co.id/thread/5ce4eacff0bdb27b965b68b2/pengalaman-pertama-ku-waktu-mulai-hijrah

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *