Assalamu’alaikum, perkenalkan nama saya Imran, anak kedua dari dua bersaudara. Saya berasal dari keluarga musisi; ayah saya dulu adalah musisi terkenal di Indonesia. Pepatah mengatakan, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” dan begitu pula dengan saya. Sejak kecil, saya selalu melihat ayah memainkan berbagai alat musik di rumah. Ayah menyimpan banyak alat musik seperti gitar, piano, drum, suling, dan banyak lagi.
Siang hari biasanya ayah saya bersama teman-teman grup bandnya berlatih di lantai dua rumah kami. Mereka membuat studio latihan sendiri di sana, dan saya sering ikut masuk untuk mengganggu latihan ayah. Jujur, saya sangat senang memukul-mukul drum. Hingga dewasa, saya dan teman-teman juga membentuk band sendiri, dan saya menjadi drummer-nya. Kami sering tampil di klub-klub malam dan kafe-kafe.
Suatu malam, kami mendapat pekerjaan untuk tampil di sebuah klub. Saat sedang mengecek sound, saya melihat tiga orang berpakaian putih seperti pakaian orang Arab, lengkap dengan sorban di kepala. Hati kecil saya pun bergumam, “Emang udah akhir zaman, ustadz sekarang malah ke klub malam. Hancur udah ini dunia.”
Ketiga orang tersebut kemudian menghampiri saya dan berkata, “Apakah ente yang bernama Imran?” Saya menjawab, “Ya, saya Imran. Ada apa ya?” Salah satu dari mereka berkata, “Engkau adalah tamu Allah di surga. Apakah engkau bersedia pergi ke Masjid Ar-Rahman? Saya tunggu besok siang.” Tanpa berpikir panjang, saya langsung menjawab “iya.” Setelah itu, mereka berpamitan dan keluar dari klub, sementara saya melanjutkan acara manggung malam itu.
Setelah selesai, saya pulang dan berbaring di kasur, memikirkan perkataan mereka. “Apakah benar orang berdosa seperti saya bisa menjadi tamu Allah di surga? Shalat saja cuma di Jumatan, itu pun tiga minggu sekali.”
Keesokan harinya, saya mengenakan baju koko dan sarung, lalu pergi ke Masjid Ar-Rahman untuk bertemu dengan mereka. Sesampai di sana, saya diajak untuk ber-i’tikaf di dalam masjid selama tiga hari tiga malam. Selama itu, saya belajar banyak ilmu agama dari para ustadz di sana. Hati saya merasa tenang dan tenteram, seolah semua masalah hilang dan sirna. Saya bertaubat dan memohon ampun atas dosa-dosa saya. Banyak dosa yang saya lakukan, dan saya berjanji akan meninggalkan dunia malam.
Setelah selesai i’tikaf, saya pulang dengan mengenakan gamis putih panjang dan sorban. Keluarga saya terkejut melihat perubahan penampilan saya yang drastis setelah tiga hari tidak terlihat. Mereka berpikir saya kesambet atau ada sesuatu yang aneh.
Jujur saja, setelah hijrah ke arah yang lebih baik, banyak godaan yang datang. Teman-teman lama seakan menjauh, dan banyak yang menganggap saya hanya “tobat sambel.” Namun, hati ini tetap kuat menjalani perubahan ini.
Kini, 15 tahun kemudian, saya sudah mendirikan balai pengajian sendiri dan membimbing anak-anak yang ingin belajar ilmu agama. Alhamdulillah, ayah saya juga sudah hijrah seperti saya. Saya berharap di akhir hidup saya, saya bisa menjadi berguna bagi semua orang dan menjadi tamu Allah di surga. Aamiin.
Cerita ini ditulis kembali dari: https://m.kaskus.co.id/post/5ce71caea2d1954e0e39e76c?ref=profile&med=post